Belajar dari Kasus Manchester City

Oleh: Banon Keke Irnowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Federasi sepak bola Eropa akhirnya bertindak tegas terhadap salah satu klub terkaya di dunia, Manchester City. Union of European Football Association (UEFA) resmi menetapkan larangan bertanding bagi klub milik Sheikh Mansour ini di Liga Champions Eropa tahun depan. Klub berjuluk The Citizen ini dicekal selama 2 tahun mulai musim 2020/2021 dan ditambah denda sebesar 25 juta poundsterling.

Hukuman ini ditetapkan menyusul dugaan pelanggaran aturan Financial Fair Play yang kedua kalinya dilakukan oleh City. Kali ini, UEFA menduga adanya penggelembungan penghasilan dari sponsorship yang dicurigai sebagai tipu-tipu City agar melewati batasan harga pembelian pemain dalam bursa transfer.

FFP sendiri lahir dari kekhawatiran maraknya klub kaya baru yang disuntik dana tanpa batas oleh investornya dalam belanja pemain. Federasi mengkhawatirkan terjadinya ketimpangan antarklub sehingga kompetisi tidak lagi kompetitif karena hanya dikuasai oleh klub kaya saja. Atas dasar tujuan ini, ditetapkanlah FFP dalam sepak bola Eropa.

Terlepas dari tujuan FFP ini, ternyata FFP juga menyimpan pengaturan yang beririsan dengan perpajakan. Ada salah satu pasal di dalam pengaturannya yang menyebutkan peran otoritas pajak di sana.

Article 2 Paragraph 2(b) menyebutkan salah satu peran FFP adalah memastikan bahwa klub telah memenuhi kewajibannya terhadap otoritas pajak secara tepat waktu. Mengingat pajak juga disebut-sebut, lalu apa untungnya pengaturan ini bagi otoritas pajak? Setidaknya ada 2 hal yang bisa digali. Harusnya dengan kehadiran FFP dapat meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pajak para pemangku kepentingan khususnya klub sebagai badan usaha. Kedua, FPP harusnya dapat peningkatan kualitas basis data perpajakan bagi otoritas pajak setempat.    

Pertama tentang peningkatan penerimaan dan kepatuhan pajak. Persyaratan utama lolos uji FFP adalah klub harus mencapai posisi keseimbangan (break-event) antara pemasukan dan pengeluaran. Keseimbangan ini menentukan batasan harga pemain yang bisa dibeli.

Intinya, jangan sampai klub jatuh merugi akibat besar pasak dari pada tiang. Komponen pemasukan apa saja yang diakui sebagai penghasilan usaha dari bidang persepakbolaan. Standar akuntansi FFP menghendaki penghasilan itu terdiri dari tiket masuk stadion, hak siar, sponsorship, merchandise, iklan kegiatan komersial dan operasional lain, laba penjualan pemain dan penjualan aset tetap.  Sedangkan pengeluaran yang dianggap relevan adalah harga pokok pembelian, beban operasional lain, amortitasi dan beban pembelian pemain. Tidak termasuk dalam beban adalah beban yang tidak terkait dengan bidang persepakbolaan.

Perlu dicatat bahwa nilai pengeluaran dan penghasilan dalam pembukuan harus sesuai dengan arms length principle. Paragraph 4 article 58 dalam FFP mengatur tentang konsep hubungan istimewa dan harga wajar. Sama halnya dengan pengaturan pasal 18 ayat 3 UU PPh yang identik dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. FFP pun mengakomodasi aturan transfer pricing dan penghindaran pajak. Dalam bursa transfer pemain sepak bola, angka-angka fantastis yang tidak wajar meningkatkan risiko penghindaran pajak. Tidak dapat dimungkiri, bahwa ada klub yang memanfaatkan celah tersebut. Ini yang diantisipasi oleh federasi.

Sepak bola saat ini adalah industri dan bisnis. Bagi pemilik klub, FFP harusnya dipandang sebagai pendorong manajemen klub untuk memperbaiki keseimbangan tidak hanya pendapatan dan pengeluaran, namun juga investasi.

Melalui kesehatan keuangan, klub dipaksa untuk senantiasa dalam kondisi laba tidak boleh merugi. Walaupun terdapat batas rugi yang ditoleransi yaitu 5 juta pounsterling selama 3 tahun berturut-turut karena harga pemain yang dibeli tidak boleh melebih pendapatan yang diterima klub. Ketika klub membukukan laba selain akan menjadi return bagi para investor, laba tersebut adalah objek yang dipajaki. Semakin tinggi laba klub semakin tinggi pajak yang dibayarkan. FFP secara tidak langsung memaksa klub terpajaki.

Selain itu, FFP secara tidak langsung juga memaksa klub untuk tidak berhutang pajak. Ketepatan waktu dalam hal pelunasan kewajiban pajak menjadi salah satu kriteria lolos atau tidaknya klub dalam aturan FFP. Adalah Malaga, klub spanyol, yang pernah mencicipi sanksi yang dijatuhkan akibat memiliki tunggakan pajak yang menumpuk. Malaga dilarang tampil 4 musim pada helatan kompetisi dalam kancah selevel Eropa.

Keuntungan kedua terkait FPP bagi otoritas pajak adalah peningkatan basis data perpajakan. Otoritas pajak merupakan salah satu pemangku kepentingan dalam penyajian laporan keuangan. Adanya intervensi FFP dalam laporan keuangan klub akan meningkatkan basis data perpajakan karena laporan keuangan merupakan sumber utama informasi penghitungan pajak.

Dunia sepak bola profesional bagi beberapa pengamat bukanlah wilayah yang dapat dicerna dengan logika keuangan. Hanya saja melalui penyajian data dalam laporan keuangan, keputusan yang diambil manajemen klub dapat mempengaruhi performa klub di lapangan. Contoh sederhana, ketika akan membeli pemain bagus di setiap musim pasti dibutuhkan anggaran yang besar. Dalam hal ini manajer akan membaca laporan keuangan untuk dapat memprediksi berapa dana yang akan tersedia untuk mendapatkan pemain bagus di tahun depan.

Riset terkini milik Stephen Morrow berjudul Financial Fair Play: Implications for Football Club Financial Reporting pada tahun 2014 lalu membuktikan, kualitas penyajian laporan keuangan meningkat setelah berlakunya FFP. Secara tidak langsung standar penyajian laporan keuangan yang ditetapkan FPP relevan dengan apa yang dibutuhkan pajak.

Sebagai benua yang memiliki klub sepak bola yang disebut-sebut terbaik di dunia, Eropa, sejatinya harus menampilkan sosok yang ideal dalam penyelenggaran kompetisinya. Tuntutan idealitas disoroti tidak hanya performa klub-klub yang bersaing di lapangan tetapi juga performa keuangan klubnya.  Intervensi keuangan yang dilakukan federasi kepada klub lewat FFP, agaknya menjadi berkah bagi otoritas lain. Otoritas perpajakan sedikit banyaknya terbantu lewat pengaturan FPP yang mensyarati semacam tax clearance itu. Setidaknya dua hal dalam peningkatan kepatuhan pajak dan kualitas basis data perpajakan memberikan bukti integralitas antara bisnis, olahraga, dan regulasi.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.


Sumber: pajak.go.id